Kamis, 26 April 2012
Riba dan Bunga Bank itu Haram
Riba dan Bunga Bank itu Haram
By. Gokil.rijal@rocketmail.com
( facebook )
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
“Suatu
saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika itu semua orang
memakan riba. Yang tidak makan secara langsung itu akan terkena debunya”
(HR Nasai no 4455, namun dinilai dhaif oleh al Albani).
Meski
secara sanad hadits di atas adalah hadits yang lemah namun makna yang
terkandung di dalamnya adalah benar dan zaman tersebut pun telah tiba.
Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi komsumsi publik
bahkan suatu yang mendarah daging di tengah banyak kalangan. Padahal ancaman
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang riba sungguh mengerikan bagi
orang yang masih memiliki iman kepada Allah dan hari akhir.
عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ:
الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ
الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا
يَتَخَبَّطُ”
Dari
Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah
dengan dengan dosa-dosa yang tidak akan diampuni. Ghulul (baca:korupsi), barang
siapa yang mengambil harta melalui jalan khianat maka harta tersebut akan
didatangkan pada hari Kiamat nanti. Demikian pula pemakan harta riba. Barang
siapa yang memakan harta riba maka dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti
dalam keadaan gila dan berjalan sempoyongan” (HR Thabrani dalam al Mu’jam
al Kabir no 110 dan dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam
Shahih at Targhib wa at Tarhib no 1862).
Berdasarkan
hadits tersebut maka pelaku riba itu telah menghalangi dirinya sendiri dari
ampunan Allah.
Makna hadits di atas bukanlah menunjukkan bahwa orang yang memakan riba meski sudah bertaubat tetap tidak akan diampuni oleh Allah. Akan tetapi maksudnya adalah menunjukkan tentang betapa besar dan ngerinya dosa memakan riba.
Makna hadits di atas bukanlah menunjukkan bahwa orang yang memakan riba meski sudah bertaubat tetap tidak akan diampuni oleh Allah. Akan tetapi maksudnya adalah menunjukkan tentang betapa besar dan ngerinya dosa memakan riba.
Umat
Islam bersepakat berdasarkan berbagai dalil dari al Qur’an dan sunnah bahwa
orang yang bertaubat dari dosa maka Allah akan menerima taubatnya baik dosa
tersebut adalah dosa kecil maupun dosa besar.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- قَالَ « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيَبِيتَنَّ نَاسٌ مِنْ
أُمَّتِى عَلَى أَشَرٍ وَبَطَرٍ وَلَعِبٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوا قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ بِاسْتِحْلاَلِهِمُ الْمَحَارِمَ وَاتِّخَاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ
وَشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَلُبْسِهِمُ الْحَرِيرَ ».
Dari
Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang
jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh ada sejumlah orang dari umatku yang
menghabiskan waktu malamnya dengan pesta pora dengan penuh kesombongan,
permainan yang melalaikan lalu pagi harinya mereka telah berubah menjadi kera
dan babi. Hal ini disebabkan mereka menghalalkan berbagai yang haram,
mendengarkan para penyanyi, meminum khamr, memakan riba dan memakai sutra” (HR
Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaid al Musnad [Musnad Imam Ahmad no 23483],
dinilai hasan li ghairihi oleh Al Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib
no 1864).
Pada
saat haji wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ
قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ
أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا
فِى بَنِى سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ
وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
“Ingatlah,
segala perkara jahiliah itu terletak di bawah kedua telapak kakiku. Semua kasus
pembunuhan di masa jahiliah itu sudah dihapuskan. Kasus pembunuhan yang pertama
kali kuhapus adalah pembunuhan terhadap Ibnu Rabi’ah bin al Harits. Dulu dia
disusui oleh salah seorang Bani Saad lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba jahilaih
juga telah dihapus. Riba yang pertama kali kuhapus adalah riba yang dilakukan
oleh Abbas bin Abdil Muthallib. Sungguh semuanya telah dihapus” (HR Muslim 3009
dari Jabir bin Abdillah).
Dalam
hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa riba itu
berada di bawah telapak kaki beliau untuk menunjukkan betapa rendah dan
hinanya pelaku riba dan riba juga dinilai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai perkara jahiliah.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى
، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى
نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ
يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ
الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ
كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ،
فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى
النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا »
Dari
Samurah bin Jundab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semalam aku
bermimpi ada dua orang yang datang lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah
tanah yang suci. Kami berangkat sehingga kami sampai di sebuah sungai berisi
darah. Di tepi sungai tersebut terdapat seorang yang berdiri. Di hadapannya
terdapat batu. Di tengah sungai ada seorang yang sedang berenang. Orang yang
berada di tepi sungai memandangi orang yang berenang di sungai. Jika orang yang
berenang tersebut ingin keluar maka orang yang berada di tepi sungai
melemparkan batu ke arah mulutnya. Akhirnya orang tersebut kembali ke posisinya
semula. Setiap kali orang tersebut ingin keluar dari sungai maka orang yang di
tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya sehingga dia kembali ke posisinya
semula di tengah sungai. Kukatakan, “Siapakah orang tersebut?”. Salah
satu malaikat menjawab, “Yang kau lihat berada di tengah sungai adalah
pemakan riba” (HR Bukhari no 1979).
Dalam
hadits di atas jelas sekali betapa kerasnya hukuman bagi pemakan riba sementara
ketika di dunia dia mengira bahwa dirinya bergelimang kenikmatan.
Akhirnya
seluruh umat Islam beserta segenap ulamanya baik yang terdahulu ataupun yang
datang kemudian telah sepakat bahwa riba adalah haram. Mereka
juga menegaskan bahwa bunga bank dan yang semisal dengannya adalah haram.
Mereka juga sepakat bahwa siapa saja yang menghalalkan riba maka dia kafir.
Sedangkan siapa saja yang melakukan transaksi riba namun masih memiliki
keyakinan bahwa riba itu haram maka dia telah melakukan dosa besar, orang yang
fasik dan berani memerangi Allah dan rasulNya.
Para
ulama telah menetapkan haramnya bunga yang telah dipatok di awal transaksi
misal 3%, 5% dan seterusnya. Para ulama telah membantah orang-orang yang
menghalalkan bunga bank dan merontokkan argument-argumen mereka secara total. Tidak
ada beda antara bunga dalam jumlah kecil ataupun dalam jumlah besar. Semuanya
adalah riba yang diharamkan.
Wa’alaikumsalam Wr. Wb
PILIH BANK KONVENSIAONAL ATAU SYARI'AH YA ??????
Di Indonesia sudah banyak berkembang bank Syari‘ah, yaitu bank yang dalam operasionalnya menggunakan perangkat atau produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syari‘at Islam. Dalam
pengembangan di berbagai peringkat, bank jenis ini tahan banting alias
tidak goyah berhadapan dengan krismon dan juga petaka ekonomi dunia
sekarang ini.
Meskipun nama bank syari‘ah, namun nasabah nonmuslim boleh-boleh saja ber-muamalah dengannya. Tidak ada halangan sama sekali. Yang penting di sini, adalah prinsip dan operasionalnya harus sesuai dengan ketentuan syari‘ah. Berbeda sekali dengan prinsip dan operasional bank biasa atau disebut bank konvensional.
Prinsip-prinsip Dasar Bank Syari‘ah, antara lain, Pertama, prinsip titipan atau simpanan Al-wadi‘ah, dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum. Harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Aplikasinya dalam produk perbankan, di mana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini yang dalam bank konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.
Dalam dunia perbankan yang semakin kompetitif, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk merangsang semangat masyarakat dalam menabung sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang asal tidak disyaratkan sebelumnya, dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijakan bank.
Kedua, prinsip bagi hasil (profit-sharing), Al-Mudharabah. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan, diterapkan untuk pembiayaan modal kerja.
Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan.
Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut. Misalkan, dari modal Rp 30 juta diperoleh pendapatan Rp 5 juta/bulan. Dari pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan pengembalian modal, sebut saja Rp 2 juta. selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.
Ketiga, Al-Musyarakah. Sistem ini terjadi kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi modal. Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di bank konvensional sebagai sarana pembiayaan. Secara konkret, bila Anda memiliki usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, Anda bisa menggunakan produk al-musyarakah ini. Inti dari pola ini adalah, bank syariah dan Anda secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan untuk menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan sebagai penyertaan dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Dalam bank konvensional, pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja.
Keempat, prinsip Al-Murabahah. Dalam skim ini, terjadi jual-beli suatu barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam hal ini harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan. Misalkan Anda membutuhkan kredit untuk pembelian mobil. Dalam bank konvensional Anda akan dikenakan bunga dan Anda diharuskan membayar cicilan bulanan selama waktu tertentu. Di sektor perbankan, suku bunga yang berlaku mungkin saja berubah.
Dalam sistem bank syariah, tentu saja produk seperti ini juga tersedia. Namun bentuknya bukan kredit, melainkan menggunakan prinsip jual-beli, yang diistilahkan dengan Murabahah. Dalam hal ini, bank syariah akan membeli mobil yang Anda inginkan terlebih dahulu, kemudian menjualnya lagi kepada Anda. Tapi, karena bank syariah menalanginya dulu, maka pada saat menjual kepada Anda, harganya sedikit lebih mahal, sebagai bentuk keuntungan buat bank syariah. Karena bentuk keuntungan bank syariah sudah disepakati di depan, maka nilai cicilan yang harus Anda bayarkan relatif lebih tetap.
Jadi, perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional, pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional, transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun prinsip titipan ini tidak sesuai dengan aturan syariah, misalnya wadi‘ah, karena dalam produk giro, tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap terhadap uang yang disetor.
Kedua, terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau biaya yang harus dibayar oleh bank. Maka bank harus “menjual” kepada nasabah lain (peminjam) dengan biaya bunga yang lebih tinggi. Perbedaan antara keduanya disebut spread yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Bila spread-nya positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat dikatakan bahwa bank mendapatkan keuntungan. Sebaliknya juga benar.
Sementara bank syariah menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapat dari pembiayaan tersebut dibagi dua, untuk bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan di muka.
Ketiga, sasaran kredit/pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar uang yang ditabung dipinjamkan untuk berbagai bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut.
Sedangkan di bank syariah, penyaluran dan simpanan dari masyarakat dibatasi oleh prinsip dasar, yaitu prinsip syariah. Artinya bahwa pemberian pinjaman tidak boleh ke bisnis yang haram seperti, perjudian, minuman yang diharamkan, pornografi dan bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah. Demikianlah jawaban singkat pengasuh, semoga ada manfaatnya. , Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
Meskipun nama bank syari‘ah, namun nasabah nonmuslim boleh-boleh saja ber-muamalah dengannya. Tidak ada halangan sama sekali. Yang penting di sini, adalah prinsip dan operasionalnya harus sesuai dengan ketentuan syari‘ah. Berbeda sekali dengan prinsip dan operasional bank biasa atau disebut bank konvensional.
Prinsip-prinsip Dasar Bank Syari‘ah, antara lain, Pertama, prinsip titipan atau simpanan Al-wadi‘ah, dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum. Harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Aplikasinya dalam produk perbankan, di mana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini yang dalam bank konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.
Dalam dunia perbankan yang semakin kompetitif, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk merangsang semangat masyarakat dalam menabung sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang asal tidak disyaratkan sebelumnya, dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijakan bank.
Kedua, prinsip bagi hasil (profit-sharing), Al-Mudharabah. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan, diterapkan untuk pembiayaan modal kerja.
Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan.
Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut. Misalkan, dari modal Rp 30 juta diperoleh pendapatan Rp 5 juta/bulan. Dari pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan pengembalian modal, sebut saja Rp 2 juta. selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.
Ketiga, Al-Musyarakah. Sistem ini terjadi kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi modal. Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di bank konvensional sebagai sarana pembiayaan. Secara konkret, bila Anda memiliki usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, Anda bisa menggunakan produk al-musyarakah ini. Inti dari pola ini adalah, bank syariah dan Anda secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan untuk menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan sebagai penyertaan dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Dalam bank konvensional, pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja.
Keempat, prinsip Al-Murabahah. Dalam skim ini, terjadi jual-beli suatu barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam hal ini harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan. Misalkan Anda membutuhkan kredit untuk pembelian mobil. Dalam bank konvensional Anda akan dikenakan bunga dan Anda diharuskan membayar cicilan bulanan selama waktu tertentu. Di sektor perbankan, suku bunga yang berlaku mungkin saja berubah.
Dalam sistem bank syariah, tentu saja produk seperti ini juga tersedia. Namun bentuknya bukan kredit, melainkan menggunakan prinsip jual-beli, yang diistilahkan dengan Murabahah. Dalam hal ini, bank syariah akan membeli mobil yang Anda inginkan terlebih dahulu, kemudian menjualnya lagi kepada Anda. Tapi, karena bank syariah menalanginya dulu, maka pada saat menjual kepada Anda, harganya sedikit lebih mahal, sebagai bentuk keuntungan buat bank syariah. Karena bentuk keuntungan bank syariah sudah disepakati di depan, maka nilai cicilan yang harus Anda bayarkan relatif lebih tetap.
Jadi, perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional, pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional, transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun prinsip titipan ini tidak sesuai dengan aturan syariah, misalnya wadi‘ah, karena dalam produk giro, tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap terhadap uang yang disetor.
Kedua, terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau biaya yang harus dibayar oleh bank. Maka bank harus “menjual” kepada nasabah lain (peminjam) dengan biaya bunga yang lebih tinggi. Perbedaan antara keduanya disebut spread yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Bila spread-nya positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat dikatakan bahwa bank mendapatkan keuntungan. Sebaliknya juga benar.
Sementara bank syariah menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapat dari pembiayaan tersebut dibagi dua, untuk bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan di muka.
Ketiga, sasaran kredit/pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar uang yang ditabung dipinjamkan untuk berbagai bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut.
Sedangkan di bank syariah, penyaluran dan simpanan dari masyarakat dibatasi oleh prinsip dasar, yaitu prinsip syariah. Artinya bahwa pemberian pinjaman tidak boleh ke bisnis yang haram seperti, perjudian, minuman yang diharamkan, pornografi dan bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah. Demikianlah jawaban singkat pengasuh, semoga ada manfaatnya. , Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
Langganan:
Postingan (Atom)